25 April 2017

Ketika Cinta Bertasbih Bukan Fiktif



Aku tak tau harus mulai dari mana cerita ini. Tapi tau kah kalian? Jemariku gemetar saat menekan tombol keyboard untuk membagi cerita ini kepada kalian. Perasaan yang campur aduk itu masih terasa hingga saat ini. Ya, hingga satu bulan setelah dia datang dan mengucapkan ayat-ayat cinta untukku.


Baiklah, aku mulai cerita ini. Semoga kalian tidak bosan mendengar ceritaku ini. 


Aku mengenal dia bukan tanpa sengaja. Seseorang mengenalkannya padaku. Tak ada yang istimewa di awal perkenalan kami. Layaknya muda-mudi lain, kami hanya bertukar nomor ponsel dan pin BB saat perjumpaan pertama kami.

Kala itu, aku tak pernah membayangkan akan menjalin hubungan yang serius dengan dia. Bahkan, tak pernah ada di benakku saat itu bahwa aku akan menikah dengannya. But surprisely, my mom and dad love at the first sight with him. Pribadinya yang santun dan keluguannya membuat kedua orangtuaku langsung jatuh hati di awal perkenalan kami.

Lalu bagaimana denganku? Tak ada perasaan apa-apa saat itu di hatiku. Bahkan aku berpikir, hubungan pertemananku dengannya tak akan berlangsung lama. Sama halnya dengan lelaki lain yang pernah berkenalan denganku.

Benar dugaanku. Selang beberapa lama setelah kita berkenalan, aku sudah mulai berubah. Pesan darinya pun kerap tak aku balas. Kalau pun dibalas, aku hanya menjawabnya dengan singkat atau pesannya baru ku baca setelah beberapa jam kemudian.

Entah apa yang dia pikirkan saat itu tentang aku. Aku tak peduli. Tapi yang buat aku jengkel, sikap dinginku tak membuat dia berubah perangai terhadapku. Sikapnya masih sama seperti awal kita berkenalan. Ramah dan sopan. 

Bahkan, sehari sebelum Ramadhan dia datang ke rumahku meskipun tak semenitpun aku menemuinya. Dia hanya ingin bertemu dengan kedua orangtuaku untuk bersilaturrahmi sebelum bulan Puasa. Jahat sekali sikapku saat itu.  Maafkan aku, sayang ðŸ˜¥

Setelah kejadian itu, aku berpikir bahwa tak seharusnya aku bersikap dingin terhadapnya. Aku pun memutuskan untuk berdamai dan mencoba membuka hati untuknya. Tak ku sangka, hubungan kami semakin dekat. Dia pun mengundangku untuk datang ke rumahnya saat dia berulangtahun.

Sejujurnya, aku tak tau kapan aku mulai mentasbihkan kata cinta untuknya. Aku juga tak tau kapan statusku mulai berubah, dari sekadar teman menjadi lebih dari teman.

Hingga di suatu malam tetiba dia berbicara serius kepadaku. Dia bilang, orangtuanya ingin berkunjung dan bersilaturrahmi dengan kedua orangtuaku. Ahh, perasaanku langsung campur aduk. Bingung, sudah pasti. Tapi yang paling terasa adalah seperti ada embun yang menetes di relung hatiku. Sejuk dan menyejukkan.

Selang beberapa lama setelah perkenalan orangtua kami, dia pun langsung melamarku. Cincin pengikat akhirnya disematkan di jariku. Aku pun menjadi wanita yang paling bahagia malam itu. 



19 Maret 2017 menjadi tanggal sakral yang ditetapkan untuk pernikahan kami. Berbagai persiapan pun dilakukan. Pesan catering, dekorasi, undangan, hingga perintilan lain seperti souvenir dan seragam. Aku pun langsung terjun sendiri mengurus pernikahan kami, ya tapi tetap dengan bantuan mama dan ayahku. Jika tidak, pasti akan berantakan.

Seminggu sebelum pernikahan, aku dan dia memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi, bahkan lewat pesan singkat. Biar rindu itu semakin menggebu saat kita bertemu nanti di depan penghulu, begitu pikiran kami saat itu. 

Empat hari jelang pernikahan, aku pun sudah mulai cuti kerja. Dipingit kalau kata orang tua jaman dulu. Tapi aku baru tau, pingit untuk orang-orang Betawi ternyata cukup melelahkan. Selain tak boleh keluar kemana-mana, aku pun harus mengikuti ritual puasa mutih. Selama empat hari itu, makanan yang boleh aku makan hanya nasi putih, kentang rebus, dan telur rebus. Alamak, kuruslah aku jika tiap hari makan rebusan macam itu.

Benar saja, baru hari pertama aku menjalani puasa mutih, kepalaku rasanya berputar-putar. Badanku lemas. Mamaku hampir tidak tega dan mengizinkanku untuk buka puasa. Tapi aku tidak mau. Karena ini demi pernikahanku. Kata orang tua jaman dulu, puasa mutih untuk calon pengantin dimaksudkan agar keringat tidak keluar saat hari H. Karena itu, aku keukeuh menjalaninya meskipun badanku lemas.

Tak hanya puasa mutih, ritual lain yang harus kujalani adalah 'piara pengantin'. Entah di suku lain seperti itu juga atau tidak, namun di budaya kami seperti itulah adanya. Jadi, aku tidak boleh mandi hingga sehari sebelum hari H. Hanya boleh luluran. Pakaian yang aku kenakan pun dilarang untuk ditukar. Biar bercahaya nanti saat resepsi. Begitu esensinya. 

Jadilah aku orang yang paling dekil dan kumal saat itu. Bayangkan saja, empat hari tidak mandi, pakaian tidak boleh ganti, dan lulur kuning menempel di badanku. 

Biasanya, seseorang akan ditugaskan untuk membantu calon pengantin menjalani ritual tersebut. Namun, mama memutuskan untuk membantuku menjalankan tradisi 'piara' ini. Menurut mama, 'dipiara' sama orang tua sendiri lebih afdhol. Yasudah, aku pun menurut. 

Di hari terakhir sebelum pernikahan, ada satu lagi ritual yang baru kuketahui. Ah aku lupa namanya. Tapi aku harus rela dikekap menggunakan tikar dan mengaduk dandang berisi air panas hingga air tersebut dingin kembali. Menurut para tetua, ritual tersebut adalah untuk memeras keringat agar pas resepsi keringat tidak keluar lagi. Panas banget sumpah!!! Setelah itu, mama pun memandikanku dengan air kembang tujuh rupa. Rasanya segar sekali setelah empat hari tidak mandi. 

Dan, hari itu pun tiba. Sejak pukul 06.00 WIB aku sudah 'nangkring' di Aula Masjid Daarul Muqorrobien, tempat resepsi pernikahanku dihelat. 

Pukul 08.00 WIB, dari kamar rias ku dengar suara petasan diledakkan. Rombongan calon pengantin pria telah datang. Lagi-lagi perasaan campur aduk, degup jantungku semakin cepat, keringat dingin keluar dari kedua tanganku.

Khutbah nikah pun dilantunkan. Tak lama setelah itu, kudengar suara ayah membaca dua kalimat syahadat disusul kemudian  ayah membacakan ijab pernikahan sambil terisak.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Lily Rusna Fajriah binti Ruslani Umar dengan mas kawin yang tersebut tunai," ucapnya lantang dan tanpa jeda. 



Sekujur tubuhku gemetar mendengar prosesi ijab qabul tersebut. Degup jantungku semakin cepat. Aku pun dipanggil keluar dari kamar rias untuk menemui suamiku. Ya, dia sekarang jadi suamiku. Ah, rasanya tak percaya aku sudah dipersuntingnya. Bayangan saat pertama kali kita bertemu melintas di benakku, saat aku melangkah keluar untuk menemuinya. 

Seluruh prosesi akad nikah berlangsung dengan lancar dan khidmat. Cincin perkawinan kini telah melingkar di jari manisku. Berhubung jeda waktu akad nikah dan resepsi tidak terlalu lama, setelah sungkeman aku dan suamiku langsung kembali ke kamar rias untuk berganti kostum. 

Gaun merah aku pilih sebagai kostum resepsiku. Tak kusangka, tamu begitu membludak saat resepsi. Bahkan menurut pengakuan beberapa orang, para tamu harus antri panjang untuk masuk ke ruang resepsi. Aku dan suamiku pun tak punya kesempatan untuk duduk karena tamu yang membludak dan antri untuk bersalaman. Terlepas dari riuh para tetamu, resepsi pernikahanku juga berlangsung dengan lancar hingga akhir acara. 


Kini, rutinitasku pun berubah seiring dengan perubahan statusku. Setiap pagi, aku harus menyiapkan sarapan hingga bekal yang akan dibawa suamiku ke kantor. Meskipun terkadang cukup melelahkan karena harus berpacu dengan waktu, tapi aku bahagia bisa menunjukkan bakti untuk suamiku. Semoga kebahagiaan ini akan terus tercipta hingga maut memisahkan kami. Amiiiinn





No comments:

Post a Comment