09 February 2016

'Kecemplung' jadi Jurnalis Ekonomi

Sudah hampir dua tahun aku tidak menyentuh blog ini, sekadar untuk bercerita, ataupun untuk berbagi kegalauan yang aku alami. Yah, kegalauan sepertinya sudah menjadi bagian dalam hidupku. Apalagi, kini orang tua di rumah sudah terang-terangan memintaku untuk segera mengakhiri kejombloan saya.

Sudah, jangan terlalu panjang membahas kegalauan dan status jombloku yang belum berubah sejak sekian lama. Kali ini, aku ingin berbagi cerita tentang kehidupan baruku semenjak menyandang predikat sebagai seorang jurnalis. Ya, jurnalis. Wartawan. Profesi yang sejak lama telah aku idam-idamkan kini telah berhasil aku capai.

Walaupun sudah agak telat aku menceritakannya, karena kini aku sudah hampir memasuki tahun ke tiga di dunia jurnalistik. Maklumlah, jam kerja jurnalis bukan office hour. Jadi waktu luangku untuk menulis di blog ini hampir tak bersisa.


Menjadi seorang jurnalis memang bukan cita-cita terbesarku. masih banyak kepingan puzzle impian yang belum tersusun. Pelan-pelan aku sedang menatanya.

Aku bekerja di sebuah media berbasis daring (online) yang digawangi seorang pengusaha Taipan yang namanya sudah malang melintang di industri media dan hiburan Tanah Air.

Di hari pertamaku kerja kala itu, aku agak kaget lantaran aku ditempatkan di kanal ekonomi dan bisnis. Sejak sekolah aku selalu menghindari semua hal yang berbau ekonomi, akuntansi, ataupun keuangan. Bukan apa-apa, harus kuakui bahwa aku bukan tipe orang yang teliti, sedangkan ekonomi dan keuangan butuh ketelitian.

But, the show must go on. Di media tersebut yang sedang dibutuhkan hanyalah kanal ekonomi dan bisnis, serta kanal otomotif. Jadi mau tidak mau aku harus 'nyemplung' kanal ekonomi dan bisnis. Sebab, otomotif lebih diprioritaskan untuk laki-laki.

Banyak hal yang baru aku ketahui soal dunia ini. Ternyata, menjadi seorang jurnalis tak melulu butuh note, recorder, ataupun laptop. Untuk media online khususnya, yang dituntut adalah kecepatan. Jadi alat-alat tersebut tak berlaku bagi kami. Kami hanya butuh smartphone dan powerbank untuk menunjang pekerjaan kami.

Setiap harinya artikel yang kami tulis dan kami laporkan ke kantor akan dikirim lewat email dari handphone. Karena itu, jurnalis online harus memiliki smartphone agar bisa segera mengirim artikel. Sementara powerbank dibutuhkan lantaran kekuatan handphone tidak bisa diandalkan sepanjang hari. Paling-paling hanya sampai setengah hari, batrei handphone sudah tak bertenaga.

Well, meskipun awalnya aku sempat tak berminat menjadi jurnalis ekonomi, namun kini aku justru semakin menikmatinya. Bertemu dengan para elite dan pejabat di negeri ini bukan lagi hal tabu untukku. Kini, hampir setiap hari aku bertemu dengan mereka. Bahkan, sekelas direktur utama sebuah perusahaan pun dengan mudah aku menghubunginya hanya lewat SMS atau whatsapp.

Tak hanya itu, berkeliling Indonesia hingga berada satu pesawat dengan Presiden Indonesia juga telah aku rasakan. Semuanya tidak akan pernah bisa aku lupakan. Akan kuceritakan kisah ini nanti, ke anak dan cucuku. Akan ku beritahu mereka, betapa orang tuanya bangga pernah menjadi seorang jurnalis.

No comments:

Post a Comment